Bahasa Jawa Pekalongan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
Bahasa Jawa Pekalongan atau Dialek
Pekalongan adalah salah satu
dari dialek-dialek Bahasa Jawa yang dituturkan di pesisir utara tanah
Jawa, yaitu daerah Jawa Tengah terutama di Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan.
Dialek Pekalongan termasuk bahasa "antara" yang dipergunakan antara
daerah Tegal (bagian
barat), Weleri (bagian timur), dan daerah Pegunungan Kendeng (bagian selatan).
Dialek Pekalongan termasuk dialek
Bahasa Jawa yang "sederhana" namun "komunikatif". Meskipun
ada di Jawa Tengah, dialek Pekalongan berbeda dengan daerah pesisir Jawa
lainnya, contohnya Tegal, Weleri/Kendal, dan Semarang. Namun oleh orang Jogya atau Solo, dialek itu termasuk kasar dan sulit dimengerti,
sementara oleh orang Tegal dianggap termasuk dialek yang sederajat namun juga
sulit dimengerti.
Sejarah
Pada abad ke-15 hingga abad ke-17,
Pekalongan termasuk daerah Kesultanan Mataram. Awalnya dialek Pekalongan tak
berbeda dengan bahasa yang dipergunakan di daerah KesultananMataram. Namun seterusnya ada zaman di mana
bahasa-bahasa Jawa terutama dialek Pekalongan mulai terlihat berbeda karena
asimilasi dengan budaya lain. Dialek Pekalongan baku zaman itu tadi sudah tak
digunakan lagi pada dialek Pekalongan zaman sekarang.
Zaman sekarang banyak orang Pekalongan
yang bekerja menjadi juragan Batik, tenun, dan tekstil, dan tetap menggunakan
dialek tersebut yang mudah dimengerti orang Pekalongan sendiri. Adanya para
juragan, pedagang juga para nelayan di daerah kota dan pinggiran Pekalongan,
mewujudkan tersebarnya dialek ini.
Ciri khas
Meskipun dialek Pekalongan banyak
menggunakan kosakata yang sama dengan Dialek Tegal,
misalnya: bae, nyong, manjing, kaya kuwe, namun pengucapannya
tak begitu "kental" melainkan lebih "datar" dalam
pengucapannya.
Ada lagi perbedaan lainnya, contohnya
menggunakan pengucapan: ri, ra, po'o, ha'ah pok, lha, ye.
Demikian pula adanya istilah yang khas,
seperti: Kokuwe artinya "sepertimu", Tak nDangka'i artinya "aku kira", Jebhul no'o artinya "ternyata", Lha mbuh artinya "tidak tau", Ora dermoho artinya "tak sengaja", Wegah ah artinya "tak mau", Nghang priye artinya "bagaimana", Di Bya bae ra artinya "dihadapi saja", dan
masih banyak lainnya.
[Contoh kalimat
Dialek kota
Di bawah ini adalah contoh dialek yang
digunakan di Kota Pekalongan. Eratnya budaya orang Pekalongan dengan budaya Arab dan Tionghoa menambah kosakata dan dialek di
Pekalongan. Biasanya, para keturunan Tionghoa di Pekalongan juga berbicara
dialek Pekalongan yang bercampur dengan bahasa Indonesia.
Dialek
Pekalongan:
|
Lha kowe pak
ring ndi si?
|
|
Bahasa
Indonesia:
|
Kamu mau ke
mana?
|
|
Dialek
Pekalongan:
|
Yo wis kokuwe
po'o ra
|
|
Bahasa
Indonesia:
|
Ya sudah
begitupun tak apa
|
|
Dialek
Pekalongan:
|
Tak ndangka'i
lanang jebulno'o wadhok
|
|
Bahasa
Indonesia:
|
Aku kira
lelaki ternyata perempuan
|
|
Dialek
Pekalongan:
|
||
Bahasa
Indonesia:
|
Demi Allah
aku tak berdusta, yakin
|
|
Dialek
Pekalongan:
|
Ya Allah, ke
ra mosok ra percoyo si (pengaruh bahasa Arab)
|
|
Bahasa
Indonesia:
|
Ya Allah,
mengapa tak percaya sekali
|
|
Dialek
Pekalongan:
|
Lha tadi
sudah tak bilangke tapi ndak ngerti yo wis (pengaruh bahasa Tionghoa)
|
|
Bahasa
Indonesia:
|
Tadi sudah
kukatakan namun tak mengerti ya sudahlah
|
|
Dialek
Pekalongan:
|
mbok
diambilke (pengaruh
bahasa Tionghoa)
|
|
Bahasa
Indonesia:
|
Tolong
ambilkan
|
Dialek
luar kota
Penggunaan dialek Pekalonga di daerah
agak pinggir dari daerah kota, ada perbedaan sedikit pada pengucapannya. Banyak
huruf vokal dan konsonan yang diucapkan agak "kental", umumnya dengan
penambahan huruf "h" dalam pengucapannya. Bentuk dialek ini dipergunakan
di daerah Batang (di bagian timur), Pemalang/Wiradesa (di bagian barat), serta Bandar/Kajen (di bagian selatan).
Contoh:
Kata banyu (air) diucapkan benhyu
Kata Iwan (nama) diucapkan I-whan
Kata bali (pulang) diucapkan bhelhi
"Brahim" (nama: Ibrahim)
diucapkan Brehiim
Contoh kalimat:
Wis ho, nyong pak bhelhi
ndikik (Sudah
ya, aku akan pulang dahulu)
Penggunaan
Dialek Pekalongan asli dapat terlihat
penggunaannya di pasar-pasar kota dan kabupaten Pekalongan, sedangkan
penggunaan sehari-hari telah bercampur dengan dialek daerah lain dan bahasa
Indonesia. Umumnya Bahasa Pekalongan lebih dikenal sebagai bahasa lisan, namun Harian Suara Merdeka memiliki kolom tulisan berbahasa
Pekalongan yang dimuat secara mingguan di edisi Suara Pantura, dengan tajuk
berjudul Warung Megono